Lantas ia menjelaskan, “Esok, keluarlah untuk makan malam bersama ibu.”
Ya Allah, rupanya aku sudah teramat sibuk mengurusi keluarga, pekerjaan dan kehidupanku.
“Sudah 21 tahun –sejak menikah denganku- kau tak pernah makan malam bersama ibu,” kata istriku mengingatkan, “Teleponlah beliau, ajaklah makan malam. Beliau pasti amat mendambakan kebersamaan denganmu.”
Aku segera menelepon ibu. Dalam perbincangan udara itu, aku menyampaikan maksudku untuk mengajaknya keluar bersama. Ibu yang telah lama menjanda dan hidup sendiri terdengar amat sumringah mendengar ajakanku itu. Meskipun, ada rasa tak percaya akan ajakan mengagetkan dari anak yang amat disayanginya. Pasalnya, masa 21 tahun bukanlah bilangan waktu yang sebentar, aku baru menyadari hal itu.
Hari yang direncanakan pun menyapa. Aku menuju rumah ibu. Sesampainya di depan rumah, sosok janda yang sudah lama mendambakan kebersamaan bersama anaknya itu tengah menunggu, tepat di rahang pintu. Ibu langsung menyambut, menghampiri dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, terjadilah perbincangan kecil antara aku dan ibu. Tentang rumah makan dan menu terbaik yang hendak kami tuju dan santap malam itu. Tak lama, tibalah kami di tempat makan terbaik di kota itu.
Lamat-lamat, aku memerhatikan pakaian yang dikenakan oleh ibu. Agak sempit. Rupanya, itu adalah pakaian terakhir yang diberikan oleh almarhum ayah. Duhai, aku ini sampai lupa membelikan pakaian untuk ibu.
Maka datanglah pelayan pembawa menu. Disodorkanlah daftar makanan yang hendak dipesan. Ternyata, ibu sudah tak kuasa membaca. Dengan senyum, aku menawarkan, “Aku bacakan menunya. Tunjuk saja menu apa yang Ibu kehendaki.”
Lantas dipesanlah aneka jenis makanan yang dihidangkan, tak lama kemdian.
Bersebab bahagianya yang memuncak lantaran diajak makan malam oleh anak kesayangannya, selera makan ibu tenggelam seketika. Sama sekali tak berminat untuk mencicipi, apalagi melahapnya. Sosok yang sudah hampir terbenam masa hidupnya itu hanya memerhatikan diriku, dengan cinta dan rindu yang kian bertambah.
Di tengah menikmati menu makan malamnya, aku berkata, “Bu, ini yang pertama sejak 21 tahun yang lalu. Maafkan anakmu ini. Esok kita akan makan malam lagi untuk yang kedua.”
Mendengar kalimat itu, mata ibu berbinar sumringah. Binar bahagia itu semakin bertambah hingga kami pulang. Aku mengantarkan ibu ke kediamannya, sementara aku kembali ke rumah.
Waktu-waktu selepas itu, adalah waktu menuggu nan membahagiakan bagi sang ibu. Ditungguilah ponselnya guna berharap panggilan dari diriku. Sementara itu, di belahan tempat lain, aku tetap sibuk dengan dunia, pekerjaan dan kehidupan. Aku, benar-benar lupa dengan janji yang kuungkapkan sendiri.
Lantaran usia yang menua, ibu pun sakit. Makin hari, bertambah parah sakitnya. Alasan sibuk pun membuat diriku tak kunjung membesuk ibu. Hingga akhirnya, wanita berhati lembut itu wafat sebelum aku sempat menjenguknya.
Proses pemakaman pun berlangsung dengan lancar. Ada haru nan pilu yang menelisik ke dalam hatiku. Perasaan bersalah selalu datang belakangan. Andai perasaan itu bisa datang lebih dulu, mungkin saja aku akan bisa menebus dosanya.
Lepas pulang dari pemakaman, ponselku bergetar. Tertera dalam layar, pemanggil adalah rumah makan tempat aku dan ibu makan malam tempo hari. “Halo, Pak Amin,” ucap suara dari seberang. Lepas disahut, penelepon melanjutkan, “Maaf, Pak. Dalam catatan kasir kami, bapak telah memesan tempat makan malam untuk dua orang. Tagihannya sudah dibayar oleh Ibu anda.”
Bagai dihantam sebuah batu hatiku. Aku lalu bergegas menuju rumah makan tersebut. Sesampainya di sana, sang kasir menyerahkan sebuah pesan tertulis tangan. Dari ibu. Tertera di dalamnya, “Nak, aku mengerti. Malam ini adalah makan malam terakhir kita. Meski kau sampaikan akan ada yang kedua, aku tak terlalu yakin. Maka, makanlah bersama istrimu. Aku sudah membayarnya untukmu dengan uang Ibu.”
“Ibu, Ibu, Ibu,” demkianlah pesan Rasulullah Saw. Sosok mulia itu harus didahulukan dari sosok bapak. Sosok ibu adalah mutiara kebaikan nan tak tergantikan. Selalu ada mutiara yang bisa digali darinya. Pasti ada hikmah dari wanita yang mungkin saja, sudah kita sia-siakan sejak lama.
Rabbi, ampuni dosa kami, dosa bapak dan ibu kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami di masa belia.
*Disadur bebas dari buku 1001 Alasan Kamu Harus Sayangi Ibumu, Monde Ariezta.
0 Response to "Ternyata Hari Itu Adalah Makan Malam Terakhirku Bersama Ibu"
Posting Komentar